Santri Sebagai Subjek Multitalenta Yang Konsisten Dalam Jihad Beragama Di Era Keegoisan “MEA” - Redaksi Penulis

Mari memberikan manfaat melalui menulis, terus berkarya, berarti dan berbakti

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Santri Sebagai Subjek Multitalenta Yang Konsisten Dalam Jihad Beragama Di Era Keegoisan “MEA”

Share This
Redaksipenulis,- Perjalanan sejarah bangsa ini begitu panjang, yang umum kita ketahui yakni tercatat secara historis sejak zaman kerajaan, hingga dibentuklah sebuah negara. Wajar jika dalam salah satu bukunya, Emha Ainun Nadjib menulis bahwa NKRI adalah anak bungsu dari bangsa ini. Pernyataan tersebut tidak hanya tertuang dalam bukunya saja, tapi pernah dikatakan langsung oleh Cak Nun (sapaan akrab Emha Ainun Nadjib) dalam acara A Tribute to Gus Dur and Martin Luther King Jr (Legacies of Pluralism, Diversity, and Democracy) pada Selasa, 22 Januari 2013.

Pesantren turut menjadi bagian dari perjalanan panjang tersebut. Dalam m.republika.co.id (2016) dijelaskan bahwa guratan sejarah menunjukan bahwa santri (murid di pesantren) telah banyak berkontribusi dalam mewarnai dinamika perjalanan bangsa. Para santri tidak hanya asyik dan tekun beribadah, namun juga aktif berjuang mempertahankan kemerdekaan. Bahkan, jauh sebelum ide atau gagasan tentang kemerdekaan meruap ke permukaan, para santri di berbagai daerah telah mempelopori gerakan perlawanan menentang kolonialisme yang mengisap rakyat.

Masa perjuangan itu sudah berlalu. Sekarang, zaman sudah sangat jauh berbeda. Dunia, khususnya Indonesia, sedang berada dalam gelembung globalisasi, hiruk pikuk perkembangan teknologi, serta luasnya informasi. Lalu pada tahun 2015 kemarin, diikuti oleh bebasnya jual-beli antar negara Asia yang dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Tujuan utama dari MEA adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, yang mana terjadi arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil yang bebas serta aliran modal yang lebih bebas (Kemendag, 2015).

Keegoisan MEA

Tujuan tersebut, oleh Kementerian Dagang, diklaim akan menjadi kesempatan yang baik buat Indonesia karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Tapi bukankah dengan kebebasan demikian, istilah Negara menjadi batal? Kebebasan yang demikian sama dengan menelanjangi Negara kita sendiri, aurat Negara yang mestinya dijaga malah dipertontonkan secara cuma-cuma. Ibu pertiwi yang subur, kaya raya, dan disebut sebagai tanah surga direnggut harga dirinya. Peluang kerja untuk rakyat menjadi kian menipis karena harus bersaing dengan orang luar di dalam negeri sendiri.

Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Agung Pambhudi dalam KOMPAS.com, memberlakukan MEA dikhawatirkan malah membuat sumber daya manusia Indonesia yang memiliki talenta terbaik memilih untuk bekerja di luar negeri karena gaji yang lebih menarik. Karena sadar atau tidak, masyarakat ketakutan tidak bisa hidup senang karena terlalu banyaknya persaingan.

MEA membuat masyarakat kita yang memilih tinggal di dalam negeri, menjadi tidak sadar akan pentingnya nilai, terutama nilai keagamaan/religious. Masyarakat mulai melegitimasi cara apapun agar tidak babak belur dalam persaingan melawan imigran. Mereka punya ilmu, tapi karena tidak memiliki fondasi akhlak yang kuat, maka terjadilah praktek riba, pemalsuan (tazwiir), dan penipuan (khidaa’) di berbagai lapisan masyarakat. Anomali kemanusiaan dilakukan untuk lepas dari penderitaan dan rasa lapar. Tidak masalah kehilangan harga diri asal bisa makan. Syukur jika punya pekerjaan tetap, meski dari hasil sogok sana sini.

Dan pemerintah kita sepertinya mengkhawatirkan dekadensi moral itu, sehingga dibuatlah Pengembangan Pendidikan Karakter (PKK) yang berisikan lima nilai utama, yaitu religius, nasionalis, mandiri, integritas, dan gotong royong. PKK dibuat agar dikemudian hari anak-anak bangsa tidak tumbuh menjadi pribadi yang rendah nilai. Namun dapat dilihat, hal tersebut tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap moral anak bangsa yang terlanjur rusak sistem ruhaniyah-nya.

Santri sebagai Subjek Multitalenta yang Konsisten dalam Jihad Beragama

Pendidikan karakter kurang efektif bukan karena ada kesalahan pada konsepnya, akan tetapi karena ketidak-konsistenannya. Dikatakan tidak konsisten sebab hanya diterapkan oleh sekolah dan bisa dipantau saat proses kegiatan belajar mengajar. Di luar itu, lingkungan lah yang berkuasa dan memberikan pengaruh. Tidak melanggar di sekolah bukan berarti benar-benar patuh, tapi bisa jadi karena menghindari hukuman. Maka saat ada kebebasan di luar sekolah, hilanglah prinsip pendidikan karakter.

Berbeda dengan pendidikan karakter yang diterapkan dalam lingkup pesantren. Pesantren telah menerapkan hal tersebut sejak awal berdiri, jauh sebelum pemerintah meratakannya di semua sekolah. Penerapan pendidikan karakter dilakukan tidak hanya saat santri bersekolah, namun juga diterapkan di lingkup asrama. Sehingga walaupun pada awalnya terpaksa, karena dilakukan secara konsisten, maka menjadi terbiasa, dan akhirnya bisa.

Pesantren mendidik santri tidak hanya berkutat pada kurikulum berbasis keagamaan (region-based curriculum) tetapi juga kurikulum yang berbasis pada persoalalan masyarakat (community-based kurikulum) (Suyata dalam Zuhri, 2016). Pesantren mencetak santri yang “anfa’uhum li-n-naasi”, bermanfaat bagi manusia lainnya. Dengan kesadaran bahwa kebermanfaatan itu akan memanifestasi santri yang walaupun beragam, namun akan tetap menjadi “khoiru-n-naasi”, yakni sebaik-baik manusia. Bekal tersebut membuat masyarakan manaruh kepercayaan bahwa santri – yang benar-benar santri – tidak hanya berbekal ilmu, namun juga berbekal akhlaaqu-l-kariimah.

Pesantren sadar betul akan kemajuan zaman, sehingga region-based curriculum atau islamic-based curriculum bukan satu-satunya ilmu yang kini diterapkan. Oleh sebab itu maka kurikulumnya telah dikorelasikan dengan scientific-based curriculum (kurikulum berbasis ilmu pengetahuan). Ada link and match antara pendidikan pesantren dengan kebutuhan dunia kerja. Korelasi yang demikian menghindarkan santri dari mengalami – seperti kata Abdur Rachman Assegaf – intellectual deadlock (kebuntuan intelektual). Lagi-lagi santri memiliki nilai plus sebagai pribadi yang tidak fundametalis. Santri diarahkan menjadi manusia yang konsisten mempertahankan tradisi lamanya yang baik, namun juga diberi kesempatan mengambil tradisi baru yang lebih baik (al-muhaafadlatu ‘ala-l-qadiimi-s-shaalih, wa-l-akhdu bi-l-jadiidi-l-ashlah).

Selain bekal moral sebagai fondasi utama serta bekal intelektual sebagai dindingnya, pesantren juga mulai berupaya mengatapi para santri dengan bekal ilmu berwirausaha (entreprenership). Misal di Pondok Pesantren Nurul Jadid, mereka menggunakan Koperasi Pondok Pesantren sebagai media bagi para santri untuk melakukan praktik kerja, sehingga terdapat keseimbangan pola pendikan keagamaan dan pendidikan kewirausahaa. Dengan demikian, diharapkan hal tersebut bisa membekali santri dengan berbagai kemampuan sesuai tuntutan zaman. Terutama berkaitan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. (Hidayati, 2016:3).

Pendidikan berwirausaha santri turut didukung oleh Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kabupaten Probolinggo yang bekerjasama dengan Jawa Pos Radar Bromo dengan mengadakan even Santri Entrepreneur. Pada situs probolinggo.go.id (2017), Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kabupaten Probolinggo Nanang Trijoko Suhartono mengatakan kegiatan digelar dalam rangka untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan di kalangan masyarakat. Kegiatan ini melibatkan para santri dari pondok pesantren yang ada di Kabupaten Probolinggo. “Kegiatan santri enterpreneur ini merupakan salah satu upaya dalam menunjukkan eksistensi pondok pesantren di Kabupaten Probolinggo, terutama dibidang kewirausahaan (entrepreneurship),” katanya.

Telah terbukti bahwa santri merupakan subjek multitalenta. Mereka memiliki himpunan kemampuan dalam dirinya. Santri adalah pribadi yang adaptif, ulet dan tekun berjuang menjadi aktor penting untuk menjawab tantangan zaman. Zaman boleh berkembang dengan unsur positif-negatif menyertainya. Tapi santri tetaplah santri. Konsisten dalam jihad beragama, tanpa melupakan kebutuhan mereka di dunia, terutama di era keegoisan MEA ini. Sesuai dengan ayat dalam surah Al-Qashas:77 yang berbunyi “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu elupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

SALAM LITERASI...

Penulis: Dzatin Sagara Anggota FLP Cabang Jember
Sumber: 
Hidayati, Nuri. 2016. Strategi Kopontren dalam Membentuk Jiwa Wirausaha Mahasantri Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo. (Online), (http://etheses.uin-malang.ac.id/3488/1/12130131.pdf), diakses pada 15 Oktober 2017
Nadjib, Ainun, Emha. 2017. Daur I: Anak Asuh Bernama Indonesia. Yogyakarta. PT Bentang Pustaka
Nadjib, Ainun, Emha. 2017. Daur IV: Kapal Nuh Abad 21. Yogyakarta. PT Bentang Pustaka

No comments:

Post a Comment