Ghelengan tempat pengait tembakau itu, tak ubahnya galah yang disusun berjejer di atas sebilah bambu. Biasanya, tembakau yang baru dipanen akan langsung digantung sebelum dijemur. Jika tak digantung, daun tembakau takkan layu. Alamat tembakau tadi akan rusak. Ah, benar-benar menanam tembakau seakan merawat anak sendiri. Salah perawatan, bakal rugi bahkan tak balik modal. Sayangnya, ibu bukan petani tembakau. Ibu hanya kuli di gudang Lek San. Seperti siang ini.
“Apa bapak juga kuli tembakau?” tanyaku sambil mengulurkan ghelengan. Setiap siang, aku selalu membantu ibu mengaitkan tembakau. Kalau sudah musim kemarau, para petani bakal panen. Jika tak dibantu, ibu akan kerja sendirian. Sedang kuli yang lain, sudah memiliki tugas masing-masing.
“Bapakmu itu pekerja keras. Dia kuli kepercayaan Lek San,” jawab ibu tersenyum.
“Apa bapak juga bertubuh kekar seperti Wak Buto?”
Mata ibu melebar. Melotot tajam. “Harus berapa kali kukatakan padamu. Tak usah bawa-bawa orang itu.”
“Tapi, aku anaknya, Bu.”
“Ehar!” sergah ibu keras. “Pergi saja bermain! Tak usah bantu aku kalau kau menyebut nama orang itu.”
Aku tak tau, setiap kali menyebut nama tokoh yang dituakan itu, ibu selalu marah. Bahkan tak jarang membentak dan mengomel panjang lebar. Kalau sudah begini, lebih baik aku pergi. Tak baik jika bertahan di dekat ibu. Bakal diamuk habis-habisan.
Bertempat tinggal di Bumi Jaranan, tak ubahnya berada di tengah alas yang rindang. Pepohonan tumbuh menjulang, juga dikelilingi dua anak sungai dan satu kangai. Kangai sendiri berada di tepi selatan. Jaraknya yang lebih lebar, serta arusnya yang lebih deras, orang-orang menyebutnya kangai dibandingkan sungai.
“Mahor mati di rongkang. Mahor mati di rongkang,” seru Sidin sambil berlari. Bajunya basah kuyup seakan baru selesai menyelam.
“Ada apa, Din?”
“Mahor ada di rongkang. Dia ada di sana.”
Orang-orang berhamburan keluar. Aku tak mau kalah mencari kabar. Tubuhku yang kecil, memudahkan diri menyelinap diantara tubuh orang-orang. Sesampainya di sana, Cak Wan, tokoh utama di lakon Jaranan, sudah berdiri di atas paras. Di atas bebatuan yang besar. Bajunya juga terlihat basah. Tampak jelas lekuk tubuhnya yang kekar.
“Mahor tak bisa diangkat, Wak. Tubuhnya seakan terjepit pintu masuk rongkang,” ujar Cak Wan kepada Wak Buto.
“Apa kau tak mendengar larangan petuah?” seru Pardi sambil memegang kerah baju Sidin. “Tak ada yang boleh masuk ke goa bawah air itu!”
“Sudah! Sudah! Jangan bertengkar! Lepaskan tanganmu,” pinta Wak Buto sambil menatap Pardi.
“Lakukan doa di atas paras sekarang juga!”
Tiba-tiba Sidin bersimpuh di kaki Wak Buto. Ia meraung meminta maaf.
“Maafkan aku, Wak. Aku hanya diajak Mahor melihat rongkang. Aku sudah melarangnya, Wak. Tapi, Mahor tetap menyelam mencari ikan.”
“Apa yang kau lihat di bawah sana, Din?”
“Aku melihat istana bawah air. Banyak macam ikan. Belum pernah aku melihat ikan macam itu.”
“Baiklah. Cepat gelar do’a sekarang.”
Orang-orang segera berkumpul. Tanpa alas duduk, mereka membentuk lingkaran. Berdoa di pinggir kangai. Sementara orang-orang di luar kampung, semakin ramai melihat kejadian ini. Aku sendiri tak melihat ibu. Ah, biarkan saja. Biarkan ibu mengomel gila. Aku bakal menunggu Mahor keluar dari rongkang. Itu saja.
Semakin lama, tak ada pertanda tubuh Mahor akan keluar. Sudah puluhan orang mencoba membantu Mahor. Tetap saja. Tak ada yang berhasil. Seandainya terpaksa ditarik, bukan tak mungkin organ tubuh Mahor rusak. Parahnya, ditarik pun Mahor seakan tak mau keluar. Seakan sengaja diapit pintu masuk rongkang.
Tiba-tiba Wak Buto berdiri. Berseru ke arah Pardi.
“Dimana ibunda Mahor? Anaknya sudah berjam-jam mati di rongkang, tapi belum juga datang.”
“Mahor sudah menjual tanah ibunya, Wak. Kemarin mereka berdua bertengkar.”
“Ah, harta benar-benar membuat manusia lupa. Antarkan aku ke ibunya!”
Keduanya beranjak ke arah utara. Pergi menemui ibu Mahor yang sekarang tinggal di rumah kakaknya. Orang-orang hanya bersungut mendengar penuturan Pardi. Ada yang mengutuk kalau Mahor mati di rongkang karena telah durhaka kepada ibu. Aii. Apa perbuatanku tadi pagi kepada ibu juga disebut durhaka? Bisa-bisa, aku dikutuk menjadi batu seperti cerita si Malin. Tapi ibu tak pernah begitu. Semarah apapun, tak pernah mendoakanku buruk. Hanya saja, ibu sering mengomel lalu memukulku menggunakan apapun yang ditemui. Sandal bahkan ranting kayu juga pernah kurasakan.
Semakin malam, tak kunjung kulihat muka ibu di pinggir kangai. Atau jangan-jangan, ibu sudah melihat dan sengaja tak menarikku pulang. Baguslah kalau begitu. Aku mesti bersyukur jika ibu bersikap begitu.
Kau tau, Kawan. Orang-orang yang penasaran dengan kejadian Mahor semakin lama semakin banyak. Penuh sesak. Apalagi, mereka memanfaatkan peluang ini. Sebagian berjualan bakso, es atau cilok di bibir jembatan. Sebelahnya, Cak Dar memanfaatkan area kosong sebagai lahan parkir. Benar-benar lihai melihat peluang.
Wak Buto sendiri belum datang. Padahal, orang-orang sudah terlihat lelah menggelar pengajian. Bahkan, adzan Subuh baru saja berkumandang. Tapi, orang-orang bertahan menunggu Mahor keluar.
“Itu Wak Buto,” seru seseorang.
Terlihat dari arah utara, Wak Buto memapah seorang perempuan tua renta. Dialah mbah Ja. Ibunda Mahor. Pardi sendiri tak kulihat. Paling-paling ada di belakang. Sesampainya di atas bekap, mbah Ja langsung bersimpuh di atas batu besar. Di bawah susunan batu itulah, tubuh Mahor terjepit.
“Mahor anakku. Keluarlah, Nak. Aku sudah memaafkanmu.”
Orang-orang mengelus dada melihat mbah Ja menangis. Tak kuasa membayangkan anaknya sendiri yang mati di dasar kangai.
“Keluarlah, Hor. Maafkan aku sudah bersumpah agar kau mati di kangai. Maafkan aku, Hor.”
Tak ada pertanda Mahor keluar. Mbah Ja tetap bersimpuh sambil mengelus batu besar. Tiba-tiba saja arus sungai bertambah deras . Airnya pun berubah menjadi coklat penuh lumpur. Orang-orang berlari menyelamatkan diri ke tepi kangai. Sedang ibunda Mahor, terpaksa dipapah berdiri dan tak mau ke pinggir.
“Lihat! Itu Mahor. Itu Mahor.”
Semua orang menoleh ke arah hilir. Ya, itu Mahor. Tubuhnya yang telanjang berada di atas hewan. Ah, bukan. Itu rangong yang membawa tubuh mahor. Sisiknya besar-besar. Kepala rangong menyerupai oleng. Tubuhnya panjang seakan ular piton. Tiba-tiba saja rangong melempar tubuh Mahor. Tepat di bawah kaki sang ibu. Terlihat kedua tangan Mahor merenggang. Seakan berambisi menangkap ikan.
Orang-orang tak percaya melihat kejadian barusan. Tak percaya kalau rangong benar-benar ada. Selama ini, hanya cerita turun temurun tentang penghuni rongkang itu. Tapi sekarang, aku melihatnya sendiri. Rangong benar-benar ada.
Usai melempar tubuh Mahor, rangong menenggelamkan diri perlahan. Diiringi arus kangai yang kembali mengecil. Orang-orang langsung berkerumun melihat Mahor. Sedang sang ibu, tampak tak kuasa memeluk anaknya yang sudah mati. Ia meraung keras sambil memukul-mukul Mahor.
Wak Buto memerintahkan sebagian lelaki untuk membopong tubuh Mahor. Bagaimanapun juga, ia sudah meninggal dan harus dikuburkan. Ibunda Mahor sendiri, masih menangis. Meski beberapa orang membujuk pulang, ia tetap bertahan di atas bekap.
“Kasihan Mahor,” ujar Rustam. Kawan ngajiku.
“Tak lah. Aku lebih kasihan ke ibunya.”
“Benar juga. Tanah sudah dijual, anak juga mati.”
Aku mengangguk. Mengiyakan ucapan Rustam.
“Kau tak mau ikut pemakaman Mahor?”
“Aku sudah tak pulang semalaman. Bisa-bisa, ibu bakal mengutukku seperti mbah Ja.”
Rustam tertawa. Lalu pamit pergi mengikuti orang-orang yang membawa tubuh Mahor. Aku sendiri harus pulang. Takut ibu akan marah lebih besar.
Jalanan pulang dari kangai tak seberapa jauh. Cukup mengitari bukit Juk Saiben, jalan setapak ini akan tembus ke belakang rumah. Sayangnya, jalanan ini cukup sepi. Tak ada yang berani melewati bukit Juk Saiben apalagi mendaki sampai bukit. Konon, Juk Saiben adalah pembabat Bumi Jaranan. Katanya, beliau punya kesaktian. Orang yang melewati bekas ludahnya, akan sakit mendadak. Jadilah, Juk Saiben tak pernah berludah sembarangan. Selalu diwadahi kereng. Takut melukai orang.
“Apa yang kau lakukan di sini, Pardi?”
Tiba-tiba aku mendengar suara ibu. Kulihat dari lubang bilik dapur, bibirnya bergetar. Tak pernah kulihat mimik muka ibu seperti ini sebelumnya. Ya, belum pernah aku melihat ibu ketakutan seperti ini.
“Ini sudah waktunya, Misni. Sudah waktunya pula Ehar tau tentang semuanya.”
Mendengar namaku disebut, kedua kakiku ikut bergetar menunggu percakapan selanjutya.
“Ehar itu anakku. Tak ada yang bisa memisahkan darah ibu dan anaknya.”
“Dengar! Ini sudah kesepakatan kita saat malam Jum’at Kliwon itu.”
“Cukup! Sa’di sudah lama meninggal. Biarkan dia tenang di alam sana.”
“Itu belum cukup! Apa kau lupa, kesepakatanmu dengan orang-orang? Saat suamimu, Sa’di mati diamuk orang-orang?”
“Sudah, Pardi! Sudah! Aku tak mau mendengar cerita itu.”
“Kau harus mendengarnya. Harus! Apa kau lupa, bagaimana Sa’di menggali kubur Miryah yang mati bersama anaknya di dalam kandungan. Apa kau juga lupa, bagaimana Sa’di memotong jari telunjuk bayi Miryah hanya buat ilmu kebal? Apa kau juga lupa, sebagai permohonanmu agar Ehar masih bisa bertempat tinggal di sini sampai dia berusia lima belas tahun? Apa kau lupa itu semua?”
Aku seakan tersengat listrik mendengar penuturan Pardi. Tak pernah kudengar cerita ini sebelumnya. Tak pernah. Tiba-tiba ibu mendekat ke arah Pardi. Matanya berair.
“Inikah perjanjian di tanah adatmu, Pardi? Tanah adat yang konon menjunjung tinggi belas kasih dan saling menyayangi, tapi sekarang akan memisahkan anak dan ibunya? Inikah adat yang kau maksud itu?”
“Dengar, Misni! Ini demi kebaikan kalian berdua. Ehar hanya pergi sepuluh tahun meninggalkan tanah Jawa. Dia harus pergi ke sebuah tempat yang terpisah lautan. Setelah sepuluh tahun, dia bisa kembali. Ini sudah perjanjian kita, Misni. Perjanjian sebagai akibat perbuatan Sa’di. Suamimu.”
“Apa kau pikir sepuluh tahun itu sebentar? Aku yang mengandungnya sembilan bulan. Aku pula yang mati-matian mencari uang demi makan Ehar. Aku pula yang merawatnya saat kalian menghinaku habis-habisan. Belum cukupkah perbuatan kalian selama ini?”
Aku tak kuasa berlama-lama melihat ibu menangis. Aku tak mau, ibu sampai bersimpuh di kaki Pardi. Persis mbah Ja yang bersimpuh saat melihat Mahor mati. Segera kuberanjak ke pintu dapur yang tak terkunci. Keduanya terperangah melihatku berdiri sambil terisak tangis.
“Aku akan pergi, Bu. Bersamamu.”
*rongkang = lubang agak besar. Jika ada di darat, biasanya menjadi tempat tinggal ular. Dan menjadi tempat tinggal ikan apabila berada di sungai.
*bekap = rerimbun bambu di pinggir sungai dimana arus sungai lebih tenang tetapi lebih dalam.
*kereng = anyaman bambu yang terkadang digunakan sebagai tempat sampah
*rangong = jenis binatang yang merupakan perpaduan antara ikan dan ular
Cerita ini berangkat dari kepercayaan, dimana tokoh Mahor sendiri memang benar-benar meninggal di rongkang saat berusaha menangkap ikan. Konon, di dalam rongkang terdapat banyak macam ikan yang belum pernah dilihat. Sedangkan rangong, menjadi buah bibir di peristiwa berbeda, saat seorang lelaki tenggelam, dan dililit oleh rangong, tetapi selamat usai mengucapkan takbir berkali-kali. Sedangkan Juk Saiben, makamnya berada di atas bukit dan tersohor karena kesaktiannya di zaman dulu, khususnya cerita ludah sang kakek. Ibadah dan sifat zuhudnya itulah, membuat orang-orang menghormati beliau. Adapun terkait seorang perempuan yang meninggal dengan bayi yang masih berada di kandungan, umumnya akan dijaga selama empat puluh hari. Hal ini bertujuan, agar jari telunjuk si bayi tidak dicuri oleh orang-orang yang menginginkan ilmu kebal, atau sebagai jimat bagi maling.
Oleh:
Ardani HK.
Anggota FLP Cabang Jember
No comments:
Post a Comment