Curhatan Orang Gila Tentang Tuhannya - Redaksi Penulis

Mari memberikan manfaat melalui menulis, terus berkarya, berarti dan berbakti

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Curhatan Orang Gila Tentang Tuhannya

Share This
Curhatan Orang Gila Tentang Tuhannya
Ini ceritaku tentang Dia. Dimana orang-orang menyebutnya sebagai Tuhan. Katanya, Dia pernah berbicara langsung dengan manusia, konon sebelum ditiupkan ruh saat menjelang usia 4 bulan di kandungan. Katanya lagi, Dia itu bertanya, apakah aku-manusia itu- mengakui Dia sebagai Tuhannya atau tidak. Dan kita menjawab; iya.
Aku sendiri tak ingat peristiwa itu. Atau jangan-jangan, kau juga tak ingat sepertiku? Sama sekali? Nah, kenapa ya, Tuhan begitu. Sengaja membiarkan manusia melupakan peristiwa begitu penting di seumur hidup. Mungkin, Tuhan sedang punya hajat besar, sampai-sampai Dia tak mau membuat kita mengingat peristiwa tadi. Padahal, itulah perjumpaan kita yang pertama. Padahal juga, pertemuan pertama itu sangat penting. Tak jarang orang jatuh cinta pada pandangan pertama. Termasuk aku yang jatuh cinta pada isteriku, saat pertama kali melihatnya di taman kota.
Ah, sudah-sudah. Biarkan saja Tuhan  begitu. Aku tak mau membahas pertemuan pertama yang terjadi puluhan tahun lalu. Kau tau, akhir-akhir ini hubunganku dengan Tuhan sudah merenggang. Bukan Dia yang menjauh, tapi aku. Ya, aku ini. Aku sudah lelah, minta ini itu, tapi tak dituruti. Kata orang, aku mesti sabar. Kata orang lain juga, yang kita minta itu pasti dikabulkan, tetapi diberi dengan wujud yang terbaik menurut pandangan Tuhan. Nyatanya, sampai sekarang aku sudah capek meminta kepada Tuhan.. Tapi, bagaimanapun juga, aku tak mau mati dulu. Aku tak mau Izrail bertamu meski sekedar mengajak meminum kopi. Jangan dulu.
Sebenarnya, aku tak membenci Tuhan. Dia terlampau baik. Selama ini, Dia yang melindungiku dari amukan orang-orang. Aku tak tau, kenapa manusia yang sibuk dengan dunia mereka itu, selalu tak suka tiap kali aku membuat tungku di samping gedung SMA. Lahan itu loh bukan milik mereka. Itu milik pemerintah. Aku juga tak meminta beras atau kopi kepada orang-orang itu. Aku meminta baik-baik di warung-warung pinggir jalan, sambil berdiri ditiang penyanggah warung. Pasti, sang pemilik akan memberiku apa saja, sambil mengambil sapu yang gagangnya ditujukan tepat ke arah hidung.
Setelah mendapatkan beras atau sebungkus kopi, aku  akan membuat tungku di sudut kebun tebu yang berdempetan dengan gedung SMA. Lagi-lagi, mereka tak suka. Tiap kali aku berusaha membuat tungku, selalu ibu-ibu penjual warung nasi yang seumur-umur tak memberiku nasi sepiring saja, dengan cepat mengambil seember air, lalu disiram ke atas tungku. Padahal, baru saja kunyalakan api dari puntung rokok. Katanya, takut gedung ini terbakar. Seperti seminggu lalu.
Itu bukan salahku. Bukan. Salahkan saja angin yang berhembus terlalu kencang. Aku tak bermaksud membakar gedung ini. Sama sekali. Tetapi ibu itu tetap bersikukuh, meski aku juga ikut bersikukuh. Sampai-sampai aku berdoa agar ibu itu mati di tengah jalan, karena dzolim terhadap manusia yang tak punya apa-apa sepertiku ini. Kau tau, usai berdoa begitu, sang ibu langsung mati. Ia ditabrak truk saat menyeberang usai menyiram tungku. Tuhan menjawab apa yang kudoakan. Benar itu. Aku tak bohong. Makanya, jangan main-main dengan ucapan orang yang dianiaya. Ibu itu buktinya.
Lihatlah, Tuhan sungguh baik, bukan? Aku saja yang tak baik kepada Tuhan. Aku pernah bertanya padaNya, mungkinkah Dia lelah menghadapi manusia sepertiku. Katanya, Dia tak pernah lelah mengurus manusia. Dia juga bilang, agar aku hati-hati lagi menjalani hidup. Dia juga bilang agar aku tak lagi menjauh, tetapi aku tetap saja menjauh.
Sekali lagi, aku tak membenci. Sama sekali. Hanya saja, aku masih sedikit marah. Sedikit. Mengapa Tuhan membiarkan cinta di dalam dada isteriku hilang begitu saja. Kau tau, isteriku kabur bersama mantan kekasihnya. Anakku semata wayang juga dibawa. Uang, sertifikat tanah, perhiasan juga ludes. Tak kupersoalkan harta. Tak kupersoalkan istriku yang gila itu. Yang kupinta kepada Tuhan, mengapa Dia mengirim seorang wanita bermuka domba. Apalagi, ternyata anak yang kuasuh bertahun-tahun itu, bukan anakku. Tapi, hasil selingkuhannya dengan sang mantan.  
Ah, kenapa Tuhan tak membuka tabir kalau perempuan itu bukan orang baik-baik. Sampai-sampai aku melawan ibu. Ya, perempuan yang melahirkanku ke dunia. Waktu itu aku meminta restu, tapi ibu tak mau. Kata ibu, calon isteriku itu bukan orang baik-baik. Sudah bisa dilihat dari cara menyapa ibu. Tapi aku bersikukuh. Hingga aku melawan dan ibu jatuh terkapar, lalu mati.
Lihatlah. Hanya cinta yang kupersoalkan kepada Tuhan. Selebihnya aku percaya, apa-apa sudah menjadi takdir dariNya. Tetapi urusan cinta, manusia berhak bertanya. Dan aku, sudah bertanya kepada Tuhan.
Katanya, tidak ada cinta yang paling agung dibandingkan cintaNya kepada manusia. Sepertinya, aku harus mendekat kepada Tuhan. Untuk merasakan kembali, cinta yang sudah lama hilang.

Penulis :  Ardani HK. Anggota FLP Jember


3 comments:

  1. Selalu suka dengan gaya bercerita si penulis, sepertinya si penulis selalu suka dan tergila-gila dengan orang gila, beberapa tulisan dulu yang saya baca juga tentang orang gila,ada apa dengan orang gila mbak?

    ReplyDelete
  2. Mungkin karena penulis terkadang harus ikut gila agar bisa menulis..
    Hehehe...

    ReplyDelete
  3. Orang gila kadang lebih cerdas :v cerdas membuat orang lain berfikir
    #Admint :p

    ReplyDelete