Aku sendiri tak ingat
peristiwa itu. Atau jangan-jangan, kau juga tak ingat sepertiku? Sama sekali?
Nah, kenapa ya, Tuhan begitu. Sengaja membiarkan manusia melupakan peristiwa
begitu penting di seumur hidup. Mungkin, Tuhan sedang punya hajat besar,
sampai-sampai Dia tak mau membuat kita mengingat peristiwa tadi. Padahal,
itulah perjumpaan kita yang pertama. Padahal juga, pertemuan pertama itu sangat
penting. Tak jarang orang jatuh cinta pada pandangan pertama. Termasuk aku yang
jatuh cinta pada isteriku, saat pertama kali melihatnya di taman kota.
Ah, sudah-sudah.
Biarkan saja Tuhan begitu. Aku tak mau
membahas pertemuan pertama yang terjadi puluhan tahun lalu. Kau tau,
akhir-akhir ini hubunganku dengan Tuhan sudah merenggang. Bukan Dia yang
menjauh, tapi aku. Ya, aku ini. Aku sudah lelah, minta ini itu, tapi tak
dituruti. Kata orang, aku mesti sabar. Kata orang lain juga, yang kita minta
itu pasti dikabulkan, tetapi diberi dengan wujud yang terbaik menurut pandangan
Tuhan. Nyatanya, sampai sekarang aku sudah capek meminta kepada Tuhan.. Tapi,
bagaimanapun juga, aku tak mau mati dulu. Aku tak mau Izrail bertamu meski
sekedar mengajak meminum kopi. Jangan dulu.
Sebenarnya, aku tak
membenci Tuhan. Dia terlampau baik. Selama ini, Dia yang melindungiku dari
amukan orang-orang. Aku tak tau, kenapa manusia yang sibuk dengan dunia mereka
itu, selalu tak suka tiap kali aku membuat tungku di samping gedung SMA. Lahan
itu loh bukan milik mereka. Itu milik pemerintah. Aku juga tak meminta beras
atau kopi kepada orang-orang itu. Aku meminta baik-baik di warung-warung
pinggir jalan, sambil berdiri ditiang penyanggah warung. Pasti, sang pemilik akan
memberiku apa saja, sambil mengambil sapu yang gagangnya ditujukan tepat ke
arah hidung.
Setelah mendapatkan
beras atau sebungkus kopi, aku akan membuat
tungku di sudut kebun tebu yang berdempetan dengan gedung SMA. Lagi-lagi,
mereka tak suka. Tiap kali aku berusaha membuat tungku, selalu ibu-ibu penjual
warung nasi yang seumur-umur tak memberiku nasi sepiring saja, dengan cepat mengambil
seember air, lalu disiram ke atas tungku. Padahal, baru saja kunyalakan api
dari puntung rokok. Katanya, takut gedung ini terbakar. Seperti seminggu lalu.
Itu bukan salahku. Bukan.
Salahkan saja angin yang berhembus terlalu kencang. Aku tak bermaksud membakar
gedung ini. Sama sekali. Tetapi ibu itu tetap bersikukuh, meski aku juga ikut
bersikukuh. Sampai-sampai aku berdoa agar ibu itu mati di tengah jalan, karena
dzolim terhadap manusia yang tak punya apa-apa sepertiku ini. Kau tau, usai berdoa
begitu, sang ibu langsung mati. Ia ditabrak truk saat menyeberang usai menyiram
tungku. Tuhan menjawab apa yang kudoakan. Benar itu. Aku tak bohong. Makanya, jangan
main-main dengan ucapan orang yang dianiaya. Ibu itu buktinya.
Lihatlah, Tuhan sungguh
baik, bukan? Aku saja yang tak baik kepada Tuhan. Aku pernah bertanya padaNya,
mungkinkah Dia lelah menghadapi manusia sepertiku. Katanya, Dia tak pernah lelah
mengurus manusia. Dia juga bilang, agar aku hati-hati lagi menjalani hidup. Dia
juga bilang agar aku tak lagi menjauh, tetapi aku tetap saja menjauh.
Sekali lagi, aku tak
membenci. Sama sekali. Hanya saja, aku masih sedikit marah. Sedikit. Mengapa
Tuhan membiarkan cinta di dalam dada isteriku hilang begitu saja. Kau tau, isteriku
kabur bersama mantan kekasihnya. Anakku semata wayang juga dibawa. Uang, sertifikat
tanah, perhiasan juga ludes. Tak kupersoalkan harta. Tak kupersoalkan istriku
yang gila itu. Yang kupinta kepada Tuhan, mengapa Dia mengirim seorang wanita
bermuka domba. Apalagi, ternyata anak yang kuasuh bertahun-tahun itu, bukan
anakku. Tapi, hasil selingkuhannya dengan sang mantan.
Ah, kenapa Tuhan tak
membuka tabir kalau perempuan itu bukan orang baik-baik. Sampai-sampai aku melawan
ibu. Ya, perempuan yang melahirkanku ke dunia. Waktu itu aku meminta restu,
tapi ibu tak mau. Kata ibu, calon isteriku itu bukan orang baik-baik. Sudah
bisa dilihat dari cara menyapa ibu. Tapi aku bersikukuh. Hingga aku melawan dan
ibu jatuh terkapar, lalu mati.
Lihatlah. Hanya cinta
yang kupersoalkan kepada Tuhan. Selebihnya aku percaya, apa-apa sudah menjadi
takdir dariNya. Tetapi urusan cinta, manusia berhak bertanya. Dan aku, sudah
bertanya kepada Tuhan.
Katanya, tidak ada
cinta yang paling agung dibandingkan cintaNya kepada manusia. Sepertinya, aku
harus mendekat kepada Tuhan. Untuk merasakan kembali, cinta yang sudah lama
hilang.
Penulis : Ardani HK. Anggota FLP Jember
Selalu suka dengan gaya bercerita si penulis, sepertinya si penulis selalu suka dan tergila-gila dengan orang gila, beberapa tulisan dulu yang saya baca juga tentang orang gila,ada apa dengan orang gila mbak?
ReplyDeleteMungkin karena penulis terkadang harus ikut gila agar bisa menulis..
ReplyDeleteHehehe...
Orang gila kadang lebih cerdas :v cerdas membuat orang lain berfikir
ReplyDelete#Admint :p